Wikipedia |
Candi Ijo berdiri diatas bukit yang dikenal sebagai Bukit Hijau yang dipotong puncaknya (bed rock sebagai lahan pondasi) untuk bertumpu diatasnya. Penyebutan nama desa Ijo pertama kalinya disebut di dalam Prasasti Poh berasal dari tahun 906 Masehi. Bukit yang menyangga diperkiraan sudah berumur jutaan tahun, temuan materi yang sama dengan formasi semilir merupakan buktinya. Penelitian Tim Katastropika KSKP bidang Bantuan Sosial dan Bencana sempat mengindikasi keberadaan piramida di kawasan perbukitan ini.
Batu-batuan yang jadi bahan baku penyusun berasal dari batuan endapan Gunung Merapi yang tidak ditemukan di lokasi sekitar, artinya batu-batuan ini diangkut dari wilayah lembah sungai Opak yang cukup jauh. Candi Ijo sejatinya berada di kawasan yang jauh dari mata air dan tidak seperti yang Kitab India kuno anjurkan. Candi ini juga memiliki struktur bangunan yang berbeda dengan komplek candi Prambanan pada umumnya. Prambanan memiliki pola memusat ke tengah, sementara Ijo memusat ke belakang yang menuju punden berundak.
Arsitektur Candi Ijo telah menerapkan teknologi terasering, sistem drainase dan kemampuan bertahan dari Gempa bumi besar. Teknologi ini terbukti sanggup mempertahankannya ketika beberapa kali terjadi gempa bumi besar di dekat patahan Opak.
Pada penggalian Tahun 1887 oleh Dr J Groneman ditemukan lembaran emas, cincin emas serta beberapa jenis biji-bijian emas. Yang menarik adalah adalah satu Prasasti di sini memuat 16 kalimat yang diduga para ilmuan merupakan mantra kutukan, terbuat dari batu berukuran 14 cm dan tebal 9 cm tercantum mantra-matra yang berbunyi “Om sarwwawinasa, sarwwawinasa” ditulis berulang sampai 16 kali. Hingga kini masih belum terkuak misteri yang terhubung dengan kutukan prasasti tersebut.
Banyak prasasti era Kerajaan Mataram Hindu yang berisi ancaman menggunakan kalimat "Kutukan" bukan Hukuman. Kutukan di era tersebut dianggap lebih mengerikan bagi masyarakat ketimbang hukuman kerajaan. Kutukan bahkan berlaku untuk para pemimpin kerajaan yang melanggar sumpahnya. Mungkin ini bisa diterapkan pada para pemimpin di Indonesia, misalnya, bagi pejabat negara yg melakukan korupsi dikutuk miskin 7 turunan :D. Masalahnya apakah para koruptor takut terhadap kutukan? sepertinya ngga :P