Sejarah Jogja sejak zaman Mataram Kuno hingga berdirinya Keraton Yogyakarta tak bisa dilepas begitu saja dari peran dan keberadaan sungai-sungai di wilayah ini. Bahkan keberadaannya turut menjadi bagian cerita kehidupan modern dari romantisme, fakta hingga misteri.
Secara umum Yogyakarta dilalui oleh 3 aliran sungai yang cukup besar yaitu Sungai Progo di Barat, Opak dan Oya di Timur. Sungai-sungai lain yang cukup terkenal diantaranya yaitu Sungai Serang, Bedog, Winongo, Boyong - Code dan Gajah Wong. Masing-masing sungai tersebut memiliki cerita dan fakta yang layak kita senggol satu per satu...
Candi Prambanan
Bicara Mataram Kuno atau Medang maka tak mungkin mengabaikan jejak mahakarya dari peradabannya ini. Prasasti Shivagrha yang berasal dari Kerajaan Medang tahun 778 Saka (856 Masehi) menyebutkan deskripsi kelompok candi agung yang dipersembahkan untuk dewa Siwa disebut Shivagrha (Sanskerta: rumah Siwa) yang cirinya sangat cocok dengan kelompok candi Prambanan.
Dalam prasasti Siwagrha ini disebutkan, saat pembangunan candi Pambanan tengah berlangsung, dilakukan juga perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi. Berdasar kajian catatan sejarahnya, dahulu sungai Opak diyakini dibelokkan lalu dibuat mengelilingi Candi Prambanan, sehingga candi ini berdiri megah ditengah-tengah aliran air kali Opak.
Isi prasasti Siwagrha menyebutkan :
“…lwah inalihaken…”
Jika diurai kurang lebih artinya aliran Sungai yang dialihkan dari jalur aslinya.
Dari pemahaman itu muncul asumsi bahwa aliran Sungai dialihkan ke Barat, Sungai yang dipindahkan adalah Opak yang mengalir dari Utara ke Selatan sepanjang sisi barat kompleks Candi Prambanan. Menurut sejarawan, aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi hingga dikhawatirkan erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi.
Namun pendapat saya sedikit berbeda, aliran yang melengkung ke Timur ini tak hanya dimodifikasi (dibelokkan) arahnya namun juga dimanfaatkan sedemikian rupa dengan memperhitungkan faktor keamanan kontruksi candi untuk kemudian dibuat terusan yang akhirnya membuat air mengelilingi komplek candi, mirip seperti danau Borobudur. Sungai ini dialirkan karena acara keagamaan membutuhkan unsur air dalam ritualnya.
Di wilayah Prambanan sendiri terdapat desa bernama Tlogo, biasanya nama sebuah desa adalah toponimi yang identik dengan penggambaran keadaan di masa lalu dan dalam konteks ini Tlogo berarti Telaga atau perairan yang tak jauh berbeda dengan danau dengan mata air. Tlogo adalah desa di kecamatan Prambanan, kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi desa ini.
Disebutkan pula bahwa, hasil riset dibawah permukaan candi Prambanan pasca gempa Yogyakarta 2006 sebagai langkah rehabilitasi gempa, di temukan alur-alur sungai purba yang melintas di timur bangunan candi utama berkedalaman 4 meter dari paras sungai
Keraton Yogyakarta
Di era yang lebih modern, tepatnya tahun 1775, urusan belok membelokkan sungai juga dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Wilayah Keraton berada di daerah Hutan Ringin berawa yang dikeringkan yang dikenal dengan nama Umbul Pachetokan dan kemudian dibangun menjadi pesanggrahan Ayodya.
Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I memilih lokasi tersebut sebagai tempat untuk membangun keraton Yogyakarta, tepat di antara sungai Winongo dan sungai Code. Pada saat pendiriannya aliran sungai Code kemudian dibelokkan sedikit ke Timur dan aliran sungai Winanga juga dibelokkan ke Barat.
Hal ini menunjukkan bahwa peradaban pada abad 18 saat dibangunnya Keraton Yogyakarta tergolong sudah cukup maju karena orang-orang pada masa itu telah mampu membelokkan arah aliran sungai untuk meningkatkan konstruksi bangunan.
Sepenggal bait Pantun Mijil mengilustrasikan sungai tersebut lewat kalimat "Kali Nanga pancingkok ing puri". Artinya "Sungai Winanga membelok (ke kanan) waktu mendekati kraton (puri)".
Benteng Alami Keraton Yogyakarta
Sungai bagi Keraton di abad 18 memiliki fungsi strategis alamiah sebagai benteng pertahanan dan keamanan. Keraton secara Geografis terletak tepat di tengah 2 aliran Sungai di Timur dan di Baratnya. Bahkan sejatinya tak hanya 2, tapi diapit 6 aliran sungai dan kali, dalam sistem pertahanan ini tentu sangat efektif saat itu untuk menahan laju pergerakan musuh.
Sampah Code
Kali Code atau Sungai Boyong (bagian hulu) bermata air di kaki Gunung Merapi, merupakan salah satu sungai yang memiliki arti sangat penting bagi penduduk Yogyakarta. Dan faktanya pada tahun 1970an, Kali Code sempat tidak bisa dimanfaatkan lagi karena dipenuhi sampah rumah tangga.
Karena kepedulian dan usaha Romo Mangun yang tinggi terhadap kebersihan Kali Code, akhirnya kali ini kembali bersih dan indah sehingga dapat menjadi sebuah alternatif tempat wisata bagi masyarakat sekitarnya. Romo Mangun tinggal di bantaran Kali Code untuk memberi contoh kepada warga setempat untuk menjaga kali dengan cara tidak membuang sampah di kali. Hasilnya, lambat laun banyak turis lokal hingga mancanegara yang berwisata mengunjungi Kali Code.
Terowongan Misteri
Sudah tau dengan temuan terowongan misteri yang pintunya ada di kali Code ?! Panjang ceritanya... Ulasannya simak di link ini aja :) Terowongan kotabaru
Jalan Kanjeng Ratu Kidul
Salah satu kali yang membelah pusat kota Jogja ini pernah diangkat ke layar lebar lewat film yang berjudul JAGAD X CODE ( Jagad Kali Code ). Kali yang mengalir di tengah arus modernitas kota ini juga tak surut oleh misteri yang melingkupinya.
Konon ceritanya selain Sungai Opak, kali Code juga kerap menjadi jalur lewat penguasa laut selatan Kanjeng Ratu Kidul bila hendak melawat ke Gunung Merapi. Banyak warga kota yang mengaku pernah mendengar derap pasukan berkuda atau kereta kerajaan di tengah malam, dan diyakini adalah rombongan Kanjeng Ratu Kidul yang sedang punya hajad.
Sub Urban Rio de Janerio ala Jogja
Ingin melihat wilayah sub urban Brasil di Kota Jogja ?! Cobalah tengok rumah-rumah di sisi bantaran Kali Code Utara RT 01/01, Kotabaru, Gondokusuman. Disini kamu bisa menyaksikan ciri khas pemukiman warna warni layaknya di Favela Brasil.
Favela adalah kota yang berpenduduk sangat padat, berada di wilayah Sub urban Rio de Janerio, memiliki ciri khas pemukiman kumuh yang penuh warna warni. Pemukiman di kali Code yang juga dibuat penuh warna ini bertujuan agar dapat menarik wisatawan, dan kelak harapannya kampung wisata kali Code ini bisa menjadi alternatif bagi wisatawan untuk menikmati susana pusat kota Jogja.
Patahan Legendaris Gempa Bumi
Sungai Opak dari waktu ke waktu selalu menjadi tersangka utama jika terjadi gempa besar di daratan Jogja. Kok sungai bikin gempa?! Ya, karena sungai ini terbentuk oleh patahan. Sungai Opak sejatinya adalah penampakan bidang kelurusan patahan ( sesar Opak ) yang dapat terlihat di permukaan. Namun sebenarnya, tak hanya Opak yang selalu duduk di kursi tersangka jika terjadi gempa dengan episentrum di darat, karena masih banyak sesar lain yang ada di Yogyakarta.
Salah satu biangnya gempa darat di Jogja adalah sesar Oya yang misterius, dan awam mengenalnya sebagai sungai Oya. Misterius karena masih kontoversi, terindikasi sebagai penyebab gempa Jogja 2006. Menjadi kontroversi karena sebagian besar ilmuan meyakini teori patahan Opak yang miring ke Timur adalah penyebab gempa Jogja 2006.
Jangan bingung, ulasannya simak di link ini :D Penyebab Gempa Jogja.
Sumber Air Prasejarah
Sungai Oya atau Kali Oya sebagai ritus sejarah dan ekskavasi nasional, sejajar dengan Sangiran di Sragen Jawa Tengah. Sungai kategori purba di Gunung kidul ini menjadi tempat ideal bagi perkembangan populasi manusia pra sejarah dan berbagai jenis fauna. Dan diisinilah banyak ditemukan fosil purba selain di wilayah Goa-goa Gunung Kidul.
Seperti penemuan fosil purba pada pertengahan Desember 2014 silam yang berusia 800 ribu hingga satu juta tahun lalu, nyaris seusia dengan fosil-fosil lain yang pernah ditemukan di wilayah Sungai Baksoka di Pacitan (hasil identifikasi Balai Arkeologi Yogyakarta). 3 fosil yang di ketahui sebagai hewan purba tersebut ditemukan oleh Bambang secara tidak sengaja ketika berburu batu akik di delta Kali Oya di Dusun Sokoliman, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul.
Dengan banyaknya laporan temuan prasejarah di Kali Oya maka wilayah ini mempunyai sejarah masa lampau yang berharga bagi perkembangan penelitian purba di Indonesia.
Dermaga Sungai Progo
Pindah ke Barat Yogyakarta, tepatnya di Dusun Legokan Ngancar, Sendangsari, Pajangan, Bantul, terdapat tempuran atau pertemuan dua sungai yaitu Progo dan Bedog yang diperkirakan sebagai lokasi bekas dermaga perahu dan kapal. Di dermaga ini konon ceritanya Pangeran Diponegoro saat berkecamuk perang Jawa membeli senjata dari sebuah kapal Inggris yang transaksinya terjadi di muara Sungai Progo dekat Mangir.
Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara melawan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Tempuran Sungai Progo - Bedog kini sudah mengalami pendangkalan sekaligus penyempitan, namun Progo tetap menjadi sungai terpanjang di Yogyakarta yang membatasi tiga kabupaten Bantul, Sleman dan Kulon Progo. Daerah aliran Progo seluas 2380 km2 yang melewati Propinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan panjang sungai 140 km. Tetapi 75 % daerah alirannya terdapat di Yogyakarta.
Pintu air Sungai Progo yang terletak di Blingo sering disebut Ancolnya Yogyakarta yang sekarang menjadi tempat rekreasi warga, airnya mengalir sepanjang tahun dengan debit yang besar sekalipun di musim kemarau karena mendapat suntikan dari sungai-sungai lainnya, salah satunya dari Sungai Kayangan.
Jembatan Unik di Dunia
Jembatan rel kereta api double track "Mbeling" yang melintas diatas sungai Progo di perbatasan kecamatan Moyudan Sleman dengan kecamatan Sentolo Kulon Progo adalah jembatan unik yang hanya ada 2 di dunia (satunya ada di Belanda).
Dibangun oleh Staatsspoorwegen tahun 1930, dan dibangun ulang oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKA) pada 1957 dengan konstruksi baru. Jembatan ini memiliki konstruksi baja yang kukuh sehingga tahan terhadap gempa bumi. Titik tumpuannya tidak mati dan menggunakan sistem roll, serta tidak memiliki tiang penyangga di tengah-tengahnya, sehingga tidak ambrol jika diterjang arus deras Kali Progo.
Jembatan sepanjang 96 m yang sudah dioperasikan sejak 1957 ini sampai sekarang masih kokoh, dan masih dapat menahan tekanan kereta api yang melintasinya dengan bobot 20 ton dan dengan kecepatan 100 km/jam.
Sabda Sunan Kalijaga
Sabda ini terkait dengan keberadaan Sungai Progo dan Opak. Dikisahkan bahwa ide Selokan Mataram konon terinspirasi oleh Sunan Kalijaga yang pernah bersabda "Yogyakarta bisa makmur jika Kali Progo dan Sungai Opak bersatu".
Terinspirasi dari sabda Sunan Kalijaga itulah maka, saat Jepang sedang menggalakkan Romusha untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan cerdik menyelamatkan warga Yogyakarta dari kekejaman Romusha.
Beliau mengusulkan kepada Jepang agar warganya diperintahkan untuk membangun sebuah selokan saluran air yang menghubungkan Sungai Progo di barat dan Sungai Opak di timur. Dengan demikian lahan pertanian di Yogyakarta yang kebanyakan lahan tadah hujan dapat diairi pada musim kemarau sehingga mampu menghasilkan padi dan bisa memasok kebutuhan pangan Tentara Jepang.
Usulan Sri Sultan disetujui Jepang dan terbebaslah warga Yogyakarta untuk ikut Romusha, sekaligus sabda Sunan Kalijaga tentang kemakmuran Jogja bisa terwujud. Selanjutnya selokan Mataram akhirnya digunakan oleh rakyat Jogja untuk mengairi lahan pertanian dan membawa rakyat pada kemakmuran.
Bengawan Solo Purba
Adalah bekas sungai Bengawan Solo yang dahulu mengalir ke selatan dan bermuara di Teluk Sadeng Gunung Kidul. Bengawan Solo yang menjadi sungai terpanjang di Pulau Jawa sekarang mengalir ke utara karena proses pengangkatan geologis akibat desakan lempeng Indo-Australia yang mendesak daratan Jawa.
Akibat proses ini daratan bagian hilir sungai terangkat hampir 200 meter sejak masa Pleistosen Bawah bagian tengah, kira-kira 1,47 juta tahun yang lalu. Jejak bekas muara sungai Bengawan Solo Purba dengan mudah terlihat hingga kini di Pantai Sadeng dan menjadi daya tarik tersendiri bagi penyuka sejarah geologi masa silam.
Beranda
›
Candi
›
Candi Prambanan
›
Keraton
›
Misteri
›
Sejarah Jogja
›
Sungai di Yogyakarta
›
Fakta Unik, Cerita dan Misteri Dibalik Sungai di Yogyakarta
Fakta Unik, Cerita dan Misteri Dibalik Sungai di Yogyakarta
Baca Juga :
- - - - - - - - - -
Dukung Jogja Uncover
agar terus berkembang dengan donasi
GOPAY | DANA | LinkAja | OVO
lewat link
SAWERIA