Gempa Bumi Jogja 6,3 SR versi USGS atau 5,9 SR via BMKG terjadi tanggal 27 Mei 2006 pukul 05.55 WIB, membuat tanah bergetar dan berayun selama ± 57 detik. Dengan energi setara 50-70 Kiloton TNT atau sebanding dengan 3-4 buah Bom Atom “Little Boy” Hiroshima yang diledakkan bersamaan. Mengacu pada rilis terakhir USGS episentrum berlokasi di wilayah daratan disebelah barat Playen Gunung Kidul dan berjarak 10km di timur sungai Opak Bantul.
Melalui berbagai penelitian, ilmuan menyimpulkan gempa Jogja ini diakibatkan bergeraknya sesar Opak yang memiliki sudut kemiringan menujam kerak bumi ke arah timur. Sementara versi lain menyebut ada sub-fault (atau blind-fault) sesar purba Oya yang menjadi biang keladinya. Jogja Uncover sendiri cenderung mencurigai teori kedua ini berdasar sebaran aftershock dan kedalamannya, sistem inilah yang paling sering menimbulkan getaran-getaran kecil di Jogja hingga kini, selain dari zona subduksi di samudera Hindia.
Berikut gambaran patahan Opak Gunungkidul yang miring ke timur dilihat dari dalam Bumi menghadap Utara. Garis merah adalah perkiraan keberadaan Patahan oya.
Gempa bumi susulan pukul 06:10 WIB dan 08:15 WIB memicu hoax Tsunami dan menyebabkan kepanikan hampir di seluruh kota. Tak tanggung-tanggung, kepanikan bahkan terjadi di jalan kaliurang dekat Ringroad Utara, bahkan teman saya di Candi Prambanan harus memacu motornya menuju Solo.
Kurangnya pemahaman akan Kota Jogja menjadi penyebab kekacauan ini, ditambah oknum penyebar hoax yang ingin memanfaatkan situasi panik. Padahal Kota ini terletak pada ketinggian sekitar
±114 meter di atas permukaan laut dan Kota Jogja jauh dari bibir pantai selatan dengan jarak yang tak mungkin memiliki catatan sejarah bisa dicapai gelombang Tsunami.
Dapat dimaklumi, kota ini walau punya beberapa catatan sejarah gempa bumi besar sejak abad 19 atau 200 tahun silam namun generasi selanjutnya relatif tak memiliki pengalaman merasakan getaran dahsyat seperti tanggal 27 Mei 2006.
Malam Hari.
Mampir semua orang di Kota Jogja, atau Bantul dan juga Gunung Kidul memilih tidur diluar rumah akibat trauma, semua orang berbaur, tiba-tiba seperti saling kenal dan ngobrol akrab "sama rata sama rasa" hari dimana tak ada "kelas sosial", orang-orang kaya keluar rumah berbaur bermain kartu bersama warga setempat.
Sebagian besar kota gelap terutama Bantul, langit menurunkan hujan seakan turut bersedih, hampir tak ada warung makan yg buka, kebanyakan yang buka hanya burjo dan warung padang. Rumah-rumah ibadah penuh oleh orang-orang yang berdoa memohon keselamatan, di beberapa wilayah kantong kos-kosan eksodus besar-besaran terjadi, warga perantau yang dijemput orang tua atau sodara membuat esok harinya jalanan kota mendadak sepi.
Sekitar pukul 21 WIB beredar isu sms berisi "Akan ada gempa besar susulan akibat lempeng australia menabrak pulau Jawa" sms yang isinya aneh, karena kedua lempeng ini sejak era purba memang sudah bertabrakan dan saling dorong.
Secara sederhana, Sesar opak membentang dari Parangtritis hingga ke Prambanan ± 40 km, Permukaannya digambarkan berdasar kelurusan sepanjang sungai opak yang memisahkan dataran tinggi Gunung kidul dan dataran rendah Bantul.
Di sepanjang sesar Opak kondisi tanah berupa endapan vulkanik dan batuan rapuh sehingga mengakibatkan banyak kerusakan. Sesar inilah yang dipengaruhi pergerakan lempeng Indo - Australia yang menghujam lempeng Eurasia tempat Pulau Jawa berada.
Gempa bumi Jogja dengan ±6234 korban jiwa ini harus selalu jadi sejarah pengingat anak cucu kelak. Mengingat sejarah ini tentu bukan untuk meratapi kisah pilunya, tapi agar kita dan generasi selanjutnya selalu sadar bahwa kita hidup diatas lempeng tektonik dan berdampingan dengan sistem sesar aktif. Karena terdapat Sesar aktif maka Jogja rawan gempa darat yang merusak.
Beranda
›
Gempa Bumi
›
Gempa Jogja
›
Mitigasi
›
Sejarah Jogja
›
Sejarah Gempa Bumi Jogja 27 Mei 2006
Sejarah Gempa Bumi Jogja 27 Mei 2006
Baca Juga :
- - - - - - - - - -
Dukung Jogja Uncover
agar terus berkembang dengan donasi
GOPAY | DANA | LinkAja | OVO
lewat link
SAWERIA
Tags
Gempa Bumi,
Gempa Jogja,
Mitigasi,
Sejarah Jogja