Penyebab
Fenomena Seismic gap ini dapat diartikan dalam dua asumsi yaitu :
1. Batuan Stabil dengan Periodisitas Panjang.
Yang pertama menunjukkan bahwa kondisi batuan pada kawasan ini cukup stabil sehingga jarang menjadi pusat gempa. Menurut Daryono (2012), di selatan Jawa gempa bumi kuat memang jarang terjadi, karena karakteristik gempa bumi kuat memang memiliki periodisitasnya cukup lama. Teori periode ulang menunjukkan bahwa gempa bumi kuat dapat terjadi lagi dalam periode tertentu (siklus).
Beberapa catatan sejarah gempa bumi dahsyat di zona selatan Jawa ini menunjukkan bahwa di kawasan ini memang berpeluang terjadi gempa bumi kuat. Hal ini bisa dipahami karena kondisi zona subduksi lempeng di selatan Yogyakarta dan Jawa Tengah memiliki kemiripan dengan zona subduksi lempeng di selatan Banyuwangi (1994) dan Pangandaran (2006).
2. Lempeng Tua.
Lempeng Jawa sudah tua, berusia di atas 150 juta tahun. Gerakan tektoniknya pun berat sehingga tidak terlalu menekan ke arah Pulau Jawa. Namun Danny Hilman, Pakar Gempa dari LIPI memiliki pandangan bahwa Anggapan subduksi lempeng tua perlu ditinjau ulang.
Subduksi Selatan Jawa diangap tidak mampu menghasilkan gempa di atas 8 magnitudo karena Indo-Australian yang disubduksikannya sangat tua (di atas 150MY) sama seperti halnya di Jepang. Tapi kenyataannya gempa Bumi dan tsunami Sendai 2011 berkekuatan 9,0 SR. Gempa ini terjadi di Palung Jepang, tempat subduksi Lempeng Pasifik di bawah Lempeng Amerika Utara. Inilah gempa terbesar yang mengguncang Jepang dalam 1.200 tahun terakhir.
3. Sepi karena "terkunci".
Yang cukup menghawatirkan adalah jika sejatinya segmen Jogja - Jawa Tengah ini sedang "terkunci" atau tidak bergerak. Diam bukan berarti tenang sama sekali. Analoginya adalah seperti kamu yang jatuh kedalam jurang namun tertahan oleh seutas tali. Nampaknya tubuhmu diam tapi sebenarnya badanmu terus menerus memberikan tekanan kebawah hingga pada suatu ketika tali yang menghentikanmu tak sanggup lagi menahan beban tersebut.
Terkunci dalam konteks lempeng subduksi bersifat "sementara". Lempeng Indo-Australia yang menyusup saling dorongan dan menahan dengan Lempeng Eurasia, sewaktu-waktu penguncinya bisa patah dan terlepas. Semakin tinggi akumulasi energi (strain) dorongan maka akan semakin besar gempa yang terjadi.
Terkunci menyebabkan potensi gempa yang menghasilkan tsunami Jawa di laut selatan lebih rendah dibandingkan dengan laut barat Sumatera. Tapi, jika sampai ada gempa menghasilkan tsunami di laut Jawa, dampaknya akan bisa lebih dahsyat dibandingkan dengan gempa disusul tsunami di barat Sumatera. Sri Widiantoro "Kita mewaspadai tempat-tempat yang jarang gempa tersebut. Dalam kajian kami, kondisinya tidak baik karena energinya tertumpuk"
Seamount Pengunci
Salah satu ciri morfologi permukaan lempeng samudera (Indo-Australia) di dekat palung di selatan Jawa Tengah dan Yogyakarta adalah kondisi lantai samuderanya yang tidak rata dimana terdapat sejumlah Seamount.
Ditenggarai akibat dari adanya pegunungan bawah laut (Seamount) inilah segmen selatan Jawa menjadi terkunci. Tonjolan-tonjolan yang terdiri dari gunung-gunung bawah laut tersebut kini tengah menyusup dan ikut menujam kebawah lempengan Eurasia di daerah antara garis bujur 112° – 115° BT yang ditandai oleh mendangkalnya palung di daerah tersebut.
Seamount bergerak bersama lempeng Indo-Australia dan tersangkut meredam laju kecepatan penunjaman di zona subduksi, namun bagian bawah pegunungan di dasar laut itu tetap mendesak untuk bergerak masuk, sehingga memungkinkan terakumulasinya energi (strain) yang tinggi di dalam palungnya.
Fenomena ini telah diteliti oleh Tim Indonesia-Japan Deep Sea Expedition “Java Trench” 2002 (Kompas, 13 Oktober 2002) dan telah dipetakan oleh Masson dkk (1990), menggunakan GLORIA long-range sidescan sonar swath yang meliputi daerah seluas 45x1300 km pada garis bujur 108° – 120° BT.
Karakter Tsunami di Palung Jawa
Gempa disertai tsunami di selatan Jawa bertipe "tsunami earthquake" dengan karakteristik gempa relatif lambat dan menghasilkan tsunami yang lebih besar atau lebih tinggi dibandingkan dengan gempa tsunami yang terjadi di barat Sumatera (Widjo Kongko dalam Seminar Nasional Memperingati Gempa Yogyakarta, Sabtu 26 Mei 2012)
Menurut Widjo Kongko gempa yang disusul dengan tsunami di laut selatan Jawa terjadi tak jauh dari palung dengan kedalaman dangkal di bawah 25 kilometer. Karena terjadi di daerah dangkal sedangkan tingkat kekerasan lapisan bumi lebih lunak maka pecahan akan lebih besar. Dengan energi yang sama dan tingkat kekerasan lapisan bumi lebih lunak maka menghasilkan tsunami lebih tinggi.
Baca Juga : Gempa dan Tsunami Pangandaran
"Silent killer"
Inilah Tsunami dari produk gempa bumi yang paling berbahaya, bahkan laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Berdasarkan data BMKG pada peristiwa Tsunami Pangandaran 17 Juli 2006 pukul 15.19 WIB berkekuatan 6.8 SR. Masyarakat diluar rumah sepanjang pantai umumnya tidak merasakan getaran. Tapi gempa cukup dirasakan oleh orang di dalam rumah dari Jawa Barat hingga Jawa Tengah. Getaran dirasakan masyarakat bersifat lambat "Slow shaking" dan berayun.
Tsunami Samudera Hindia 2006 ini terjadi akibat longsoran besar di dasar laut (wilayah gelap palung Jawa) longsoran telah melipat gandakan jangkauan dan daya rusak gelombang, biasa disebut sebagai "Tsunami Earthquake", bencana di Flores 12 desember 1992 adalah contohnya. Inilah alasan mengapa "silent killer" atau gempa bumi yang "kecil" (6.8 SR) juga mampu menimbulkan Tsunami.
Baca Juga : Mitigasi Tsunami