Untuk itu Jogja Uncover akan coba melihat dari sudut pandang lain, yaitu melaui kaca mata sejarah masa lampau. Semoga bisa menjawab mengapa orang-orang mengatakan kota Yogyakarta sudah tak lagi nyaman ditinggali.
Sebelumnya, mari mundurkan mesin waktu ke masa lampau di Abad 19 Masehi. Tepatnya sekitar tahun 1820an tentang keindahan Jogja yang dicatat oleh 2 orang berkebangsaan Belanda. Begini ceritanya kawan-kawan... *Menatap Keluar dari Balik jendela...
Menurut Van Hoogendorp, Yogyakarta di awal abad ke-19 adalah kota yang sangat indah. Terutama sebelum perang berkecamuk dan banyak menghancurkan bangunan-bangunannya. Sebelumnya Istana air Taman Sari sudah mengalami kerusakan akibat Peristiwa pertempuran selama 2 hari antara Kerajaan Inggris dan Kasultanan Yogyakarta (Geger Spehi) pada hari Jumat-Sabtu, 19 dan 20 Juni 1812.
Namun, pusat peradaban kerajaan Mataram Islam ini mampu mencapai kemakmuran ± tahun 1820. Jogja kaya dan indah, Asri penuh bangunan bagus dan taman yang rapi dengan banyak air berlimpah. Bangunan-bangunan bahan bakunya berasal dari pertambangan batu kapur di gunung Gamping yang kini tinggal menyisakan bongkahan batu. Menurut catatan beliau lagi, Solo juga sangat luar biasa, tapi kota Jogja dalam masa kejayaannya merupakan Versailles-nya Jawa.
Menurut Jan Izaak van Sevenhoven (1782-1841), Saat itu banyak pohon tinggi dan rindang di sepanjang jalan menuju keraton Yogyakarta.
Rindangnya Jalanan Jogja |
Dari cerita diatas, nampak jelas bahwa sekitar tahun 1820an pasca peristiwa Geger Spehi di keraton, kota Yogyakarta masih berupa taman yang dipenuhi oleh pepohonan dan air. Bisa terbayang keindahan dan sejuknya masa itu. Mmm... *Lalu menghayal...
Sayangnya... Pada 4 Januari 1840 Pukul 13.15 terjadi Gempa bumi ±7- 8 SR disertai Tsunami di pesisir pantai selatan Jateng - Bantul, gempa ini memperparah kerusakan istana air Taman sari. Bahkan salah satu istana Sultan "Radjo Kesoemo" turut rusak akibat gempa bumi tersebut.
lukisan Tahun 1848 Koleksi KITLV |
Pada lukisan Taman sari Yogyakarta tahun 1859, saat ini danau Segaran sudah tak ada airnya namun masih berupa lapangan ditumbuhi rerumputan hijau. Untungnya saat itu belum ada budaya selfie yang berpotensi merusak ruang hijau ini. Hehehehe
Kondisi seperti pada gambar inilah yang mungkin dilihat Ida Pfeiffer pada bulan November 1852, karena Ia hanya mendapat cerita bahwa Pulo Kenanga dulunya dikelilingi oleh air.
Gempa bumi 20 Oktober 1859 dan 10 Juni 1867 akhirnya mengakhiri masa indah kota Jogja, kerusakan dan kehancuran bangunan terjadi diberbagai sudut Kota, termasuk meruntuhkan istana air Taman Sari.
Majukan lagi mesin waktu ke awal Abad 20
Kota sepeda dan transportasi andong menjadi julukan populer untuk Jogja. Kota ini dipenuhi oleh warga yang naik sepeda dan andong dalam semua aktifitas kesehariannya. Kotanya masih sepi dan pengguna jalan raya-nya masih ramah-ramah.
Benteng Vredeburg tahun 1920 masih terdapat kanal air.
Km 0 di perempatan Gedung BNI 1946 tahun 1925 dan 1930 masih memiliki Tugu.
Km 0 Koleksi KITLV |
Tepat pada tanggal 27 September 1937 pukul 15.55 kembali terjadi peristiwa gempa bumi dengan kekuatan 7.2 SR (8-9 MMI) di laut Selatan Bantul. Disusul kemudian 23 Juli 1943 pukul 21.53 berkekuatan 8.1 SR (8 MMI) di Selatan Kulon progo. Kedua gempa inilah yang mungkin telah merusak Tugu km 0 di perempatan Gedung BNI 1946 dan diganti dengan air mancur.
Air mancur KM 0 tahun 1967. Koleksi KITLV |
Mall dan Hotel di Jogja, Wisata Nostalgia atau Nostalgila ?