KITLV |
Di Yogyakarta dulu ada tempat yang terkenal untuk menyepi, dimana itu? Selokan Mataram Seturan. Wilayah ini jadi lokasi favorit mahasiswa kampus Jogja yang ingin melepaskan suntuk dan kejenuhan dengan aktifitas kuliah. Sambil menikmati senja berteman Sunset, hamparan sawah juga perkebunan kayu putih, tebu dan rosella, kamu bisa berteriak sekencang-kencangnya di tempat sepi ini untuk melepaskan gundah gulana. #Eaaaak...!
Seturan sendiri sejatinya adalah wilayah resapan air, dimana selokan mataram didesain untuk melewatinya. Sebelumnya untuk ketempat ini tak bisa lewat jalan tembus Gejayan seperti sekarang tapi harus muter lewat jalan Solo arah Maguwo. Dibangunnya gedung pemancar RRI di Seturan tahun 1970 menjadi awal migrasi penduduk ke wilayah pinggiran dan membentuk permukiman di kawasan ini.
Menuju arah Babarsari, tak sembarangan orang yang berani lewat sini. Dari pertigaan Citrouli melewati perkebunan dan sawah hingga Kampus II UPN di Tambakbayan, merupakan jalan yang dikuasai oleh para begal dan rampok.
Sejarah Babarsari dahulu berupa hutan bernama Jangkaran terletak di sebelah barat Sungai Tambakbayan dan selatan Selokan Mataram. Di sebelah barat jalan Babarsari adalah lahan gersang yang tidak bisa dialiri air. Pada tahun 1976 UPN “Veteran” membangun kampus II di Babarsari, Tambakbayan. Setelah itu perkembangannya perlahan merembet ke arah barat.
Tahun 80an
Pinggiran kota yang sekarang dilewati Ring Road Utara awal tahun 80an masih berada di wilayah terpencil dalam suasana desa. Warga Yogyakarya menyebutnya Condong Catur sebagai ndesit, meskipun sebetulnya tidak jauh dari kota. Wilayah utara Selokan Mataram ini pada waktu itu seperti berada di tempat yang jauh, masih sepi dan terpencil.
Hadirnya STIE YKPN di Seturan mulai merubah suasana sepi disana, namun tetap saja saat itu mahasiswanya dulu disebut wong ndesit karena berada jauh dari keramaian kota. Di era pertengahan tahun 80an terjadi booming mahasiswa pendatang, sekaligus mulai merubah wajah Condong Catur, Seturan dan juga Babarsari.
Di tengah Kota Jogja, tahun 1988 Flyover Lempuyangan atau dikenal dengan jembatan layang Lempuyangan dibangun akibat mulai munculnya kemacetan. Sejak itu Lempuyangan mulai berubah signifikan, khususnya dalam hal pembangunan. Setelah dibangunnya jembatan layang Lempuyangan daerah sekitarnya menjadi area bisnis hiburan dan perdagangan.
Tahun 90an
Di tahun 90an inilah yang konon kabarnya menjadi era emas masa nyamannya hidup di Jogja. KLa Project bahkan merilis album kedua tahun 1990 dengan mengusung lagu andalan " Yogyakarta " yang sangat fenomenal tersebut. Saat itu hampir semua orang tua lebih merekomendasikan atau memilih kampus Jogja sebagai tempat anaknya menimba ilmu. Era ini Jogja menjadi tujuan wisata lokal dan wisata manca negara, dimana banyak orang bule berlalu-lalang dijalanan kota.
Jalan Kaliurang selepas Ringroad ke utara tahun 1990 masih sepi, banyak pohon rindang disekitar jalan yang sempit namun lengang. Kondisinya berubah setelah UII membangun kawasan kampus terpadu di km 14. Di era ini pula UAJY mendirikan kampus II Gedung Thomas Aquinas di jalan Babarsari, dan mulai membuat tambah semarak kawasan ini yang sebelumnya sepi dan agak horor.
Tahun 1993 mall Jogja pertama berdiri di jantung pusat wisata jalan Malioboro. Gejala mulai adanya kemacetan terlihat, Ring Road akhirnya dibangun untuk mengantisipasinya pada tahun 1994 hingga akhirnya dibuka pada tahun 1996. Inilah yang kemudian merubah wajah kota Jogja.
Daerah-daerah baru mulai bermunculan dan bangunan-bangunan besar seperti Hotel di Jogja makin mudah ditemui. Bahkan turut berdiri juga Apartemen Sejahtera di jalan Pringgodani kawasan Gejayan, dan menjadikannya satu-satunya Apartemen di Yogyakarta.
Pembangunan marak terjadi. Galeria Mall didirikan pada 1997. Bersama-sama dengan Malioboro Mall Kedua pusat belanja modern ini selanjutnya menjadi wadah favorit anak muda dalam menyalurkan hasrat gaulnya. Saat itu budaya nongkrong dan menghabiskan waktu di Mall menjadi trend dan gaya hidup mahasiswa Jogja.
Janti flyover (Jembatan layang Janti) dibangun pada tahun 1998 dengan panjang ± 1.250 Meter dengan biaya sebesar hampir Rp. 23 Milyar, yang berasal dari sumber dana APBN + OECF IP-466. Flyover ini dibangun untuk dapat mengatasi dan mengantisipasi kemacetan lalu lintas yang mulai sering terjadi. Di akhir tahun 90an ini kawasan Utara Jogja (Sleman) terus menggeliat bersama kehadiran UPN “Veteran” Yogyakarta di Kampus Terpadu Ringroad Condong Catur.
Sekarang, Jogja Uncover ajak ke tahun 2000an
Kemacetan belum ada, perubahan kultur masyarakat belum terlihat signifikan. Saat ini Jogja masih berpredikat kota pendidikan yang cukup "Murah".
2006, Plaza Ambarrukmo dibangun di jalan Laksda Adisucipto. Tren baru anak nongkrong berubah oleh magnet Mall megah di zamannya ini. Kota Jogja terus berbenah namun gempa besar di bulan Mei 2006 membuat kota ini kembali porak-poranda.
Inilah masa-masa terakhir nikmatnya tinggal di Yogyakarta, pasca Gunung Merapi meletus tahun 2010 Wisata Jogja sempat terpuruk dan sepi dari kunjungan wisatawan, jumlah mahasiswa pendatangpun ikut turun di tahun 2011 dengan total sekitar 156.000. Banyak yang memutuskan untuk merantau keluar kota. Bahkan perayaan tahun 2011 di beberapa ruas jalan relatif lengang tak seperti biasanya.
Namun pasca letusan besar Gunung Merapi berskala 4 VEI inilah yang kemudian justru jadi momentum pembangunan. Menjelang akhir tahun 2011 seluruh wilayah Jogja bangkit lagi. Pembangunan tiba-tiba terjadi secara massif.
2012- 2013
Tahun inilah mulai marak pembangunan Mall, Hotel dan Apartemen termasuk Flyover Jombor. Kata macet mulai sering terposting distatus para pengguna sosial media. Bersamaan dengan itu bermunculan peristiwa atau kejadian yang membuat citra kota ini jadi kurang aman. Bagi yang tak nyaman dengan pembangunan akan bermigrasi ke pinggiran kota atau membangun aksi penolakan atas kehadiran hotel dan apartemen.
Saya sendiri amat terkejut melihat pesatnya perubahan kota ini. Setelah ditinggalkan 5 tahun merantau ke ibu kota pasca Gempa mei 2006. Jogja benar-benar berevolusi secara massif. Permukiman banyak yang berganti jadi kawasan superkomersial. Ekspektasi saya akan kesederhanaan dan kebersahajaan seperti dalam lagu " Yogyakarta " KLa Project tinggal kenangan, harapan itu tinggal impian. Jogja kadung berubah wujud setelah saya tinggal 5 tahun.
"Ah... mimin Jogja Uncover berlebihan alias lebay, gak segitunya kaleee"
Yes! memang lebay... karena begitu tinggi ekspektasi saya tentang Jogja, begitu besar harapan saya dulu untuk kembali mengabdi ke Kota ini agar bisa merasakan lagi aroma khas "apa adanya" sebuah "Desa Besar" bermerek Yogyakarta. Apakah itu semacam sifat Alay?! Tidak. Bagi saya Jogja dulu adalah romatisme, kota nostalgia bagi pengagum sejarah bangsa Mataram, kota unik yang menyimpan kekaguman ilmu pengetahuan masa lalu, bukan sekedar kota yang nyaman untuk ditinggali.
Artikel ini bukan bermaksud untuk menolak iklim booming-nya pembangunan. Hanya sekedar mengetuk hati pemangku kepentingan, bahwa dibalik massifnya perubahan sebuah kota selalu dibayangi resiko serius yang mengintai para investor termasuk warga asli dan pendatang. Apa itu? akan Jogja Uncover ulas pada kesempatan mendatang.
Kembali ke atas sesuai judulnya. Jogja yang dulu menjadi tujuan wisata nostalgia bagi kebanyakan orang, pelan mulai bergeser menjadi Kota "Nostalgila" gila belanja, gila nonton, gila Hotelnya, gila macetnya, gila tarif parkirnya, gila apa lagi? silakan isi sendiri. Sekian.