Renungan Sejarah Gempa Bumi Jogja

Banyak yang bertanya, selain tema umum tentang kota Jogja, mengapa kultwit @Jogja_Uncover sering terkait dengan ulasan Gempa Bumi ?! Memang, Salah satu dari sekian misi @Jogja_Uncover adalah mengajak generasi muda untuk melek dan sadar bencana, khususnya Gempa. Karena kita adalah generasi muda yang kelak akan menua, dan tugas kitalah menurunkan dan mengajarkan pemahaman bencana terhadap anak cucu kita.

@Jogja_Uncover berharap generasi kita tak ada yang mengulang "kesalahan" Sri Sultan HB VI. Saya beri tanda "kutip" dengan maksud tetap menghormati bentuk kearifan lokal dan kebijaksanaan  yang saat itu beliau usung.

Gempa Jogja 10 Juni 1867.
Memakan korban jiwa hingga 500 orang dari warga pribumi, Tiongkok dan Eropa. Saat itu Belanda telah mencatat peristiwa ini secara lengkap sebagai bahan kajian sejarah keilmuan.

Namun berbeda dengan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, menurut Danny Hilman Natawidjaja dalam Makalah PIT IAGI Ke-41, Yogyakarta 17-20 September 2012 " Sri Sultan Hamengku Buwono VI membesarkan hati masyarakat saat itu, bahwa bencana ini hanya terjadi sekali dan tidak akan pernah terjadi lagi ". Sehingga sebaiknya peristiwa ini dikubur saja dalam-dalam. Memori yang menyakitkan itu, tidak perlu diingat-ingat lagi.

Masyarakat patuh dan kelihatannya memang melupakan tragedi masa lalu itu. Hingga akhirnya terjadi lagi di Gempa bumi Jogja pada bulan Mei 2006 yang menimbulkan ribuan korban jiwa. Menurut @Jogja_Uncover gempa besar harus diingat, bukan tentang kisah pilunya tapi terkait sejarah siklusnya. inilah yang bermanfaat untuk mitigasi masa depan.

Melupakan bencana sama dengan meninabobokan kewaspadaan. Dampaknya kita tak berhati-hati, misalnya memilih lokasi dan membangun rumah yang tak menghiraukan kawasan rawan bencana. Gempa besar memang biasanya terjadi hanya 1x dalam kurun waktu puluhan tahun namun kerusakan dan korban siapa yang berani jamin jumlahnya minin?!

Kalimat menarik sebagai bahan renungan dari @bangunmelawan : Bumi seolah mengingatkan pada para Pemimpin dan mereka yang merasa "diatas" bahwa yang "dibawah" sesungguhnya lebih "berkuasa".